Friday, May 18, 2007

Asylum

PHILADELPHIA - Saya lama tercenung membaca draf affidavit pasangan suami Salim (bukan nama sebenarnya, muslim pribumi) dan istri Lia (juga bukan nama sebenarnya, Buddhis keturunan Tionghoa) yang akan diajukan dalam sidang permohonan asylum. Dengan ketiga anaknya, keluarga asal Jakarta ini sedang meminta suaka Pemerintah Amerika Serikat melalui pengadilan kota Philadelphia. Atas rujukan Leonard Swidler, profesor saya di Temple University, saya diminta pengacara pasangan tersebut menjadi saksi ahli dalam persidangan itu, jika mau.

Dari pengakuan tertulis Salim dan Lia terlukis betapa pedih beban kehidupan sosial pasangan kawin campur ini. Karena Undang-Undang Perkawinan Nomor 1/1974, di atas kertas, mereka menikah secara Islam. Tapi, dalam kenyataan, kedua pihak menjalani praktek keagamaan sesuai keyakinannya masing-masing. Maka, konflik keluarga, pemencilan sosial, ancaman, sampai kekerasan fisik dan trauma psikologis terus membayangi kehidupan keduanya dan ketiga anak-anak mereka.

Secara khusus FPI disebut sebagai kelompok Islam radikal yang amat mereka takuti. Selama ada kelompok semacam itu, selama sistem hukum kita masih tidak dibenahi, nasib orang seperti mereka tidak akan aman di mana pun di bumi Indonesia. Begitu alasannya. Sehingga mengajukan permohonan pindah kewarganegaraan --tentu dengan biaya tidak kecil-- kepada negara seperti Amerika Serikat, yang dipercaya mampu menjamin hak-hak warganya, dianggap sebagai jalan keluar terbaik buat mereka.

Permohonan pasangan itu juga telah didukung seorang Indonesianis ternama, berdasarkan pertimbangan analisis politik ekonomi yang menjadi bidangnya.

MEMILAH
Lama saya masih terus tercenung, antara “ya” dan “tidak” untuk memenuhi permintaan sebagai saksi di pengadilan. Saya tahu, ada begitu banyak orang yang benar-benar bernasib sebagaimana dituturkan pasangan itu, bahkan yang lebih tragis, baik yang bisa meninggalkan Tanah Air maupun tidak. Menolong orang-orang yang teraniaya seperti itu, termasuk jika mereka terpaksa memilih menanggalkan kewarganegaraan, buat saya, adalah kewajiban kemanusiaan.

Sementara itu, seperti dalam semua kasus, ada juga orang-orang yang sengaja “mengail di air keruh”, yang mengaku-ngaku telah jadi korban kekerasan agama atau penganiayaan etnis. Ada yang melakukan manipulasi dengan sengaja, ada pula yang “terpaksa”. Untuk orang-orang demikian, saya harus menolak tegas. Upaya meraih “hidup lebih baik” adalah hak semua orang. Tapi memanipulasi kenyataan, termasuk dengan menistakan kelompok atau agama lain demi keuntungan pribadi, adalah kejahatan.

Terutama sejak kerusuhan Mei 1998, melimpah dan mendasarnya soal asylum di kalangan warga Indonesia (umumnya keturunan Tionghoa) di Amerika itulah yang membuat saya kini tercenung. Jika tidak mau menolong orang yang memang berhak, saya bersalah. Jika menolong orang yang sebetulnya tidak berhak, saya juga salah. Sejauh ini, memang telah banyak permohonan asylum warga Indonesia yang dikabulkan, meski banyak juga yang ditolak.

MANIPULASI
Antara lain, inilah kisah yang membuat saya termangu. Meski permohonan asylum-nya telah ditolak, Anwar, seorang pekerja asal Pasuruan, Jawa Timur, bertekad tidak segera pulang ke Indonesia. Akibatnya, selama berbulan-bulan ia harus mendekam di penjara imigrasi Philadelphia, menunggu jadwal deportasi. Tadinya saya heran, sebagai muslim, nalar apa kiranya yang masuk akal buat dia dan keluarganya untuk “lari” dari Indonesia dan minta asylum Pemerintah Amerika Serikat?

Rupanya, entah karena terpaksa atau sengaja, konon ia merangkai cerita yang dianggap paling masuk akal buat menjustifikasi permohonan asylum-nya. Bahwa ia adalah anggota salah satu kelompok Islam yang dikejar-kejar di Indonesia. Celakanya, mungkin karena keluguannya, ia tidak tahu bahwa belakangan ternyata nama kelompok yang diakunya itu justru termasuk kategori “kelompok teroris” dalam daftar Pemerintah Amerika Serikat. Jadilah ia seperti tikus yang dengan sukarela mendatangi sendiri perangkapnya.

Istri Anwar yang belum lama menyusul dan tengah hamil tua amat shock mendapati gantungan hidupnya di negeri orang kini harus meringkuk di penjara. Ia pun melahirkan bayi secara prematur. Mengusung mimpi indahnya dari kampung, kini di Amerika, Khonik, si perempuan itu, hidup tanpa siapa-siapa, tanpa apa-apa, kecuali bersama si bayi dan anak pertamanya yang baru berumur tujuh tahun.

Tentu komunitas Indonesia di Philadelphia banyak yang mengulurkan tangan. Tapi, dengan keadaan mereka yang umumnya pekerja “non-status”, siapa yang bisa sepenuhnya membantu tiga nyawa entah sampai kapan. Maka, ketika bayi merahnya baru berumur dua bulan, Khonik memaksakan diri bekerja di luar secara ilegal. Anak pertamanya diwanti-wanti supaya jangan sampai lalai menjaga si kecil.

Tapi, astagfirullah, betapa malang! Si bayi terjatuh hingga mengalami perdarahan di otak. Saking bingungnya, ketika ditanya petugas rumah sakit sehari berikutnya, penjelasan Khonik banyak yang tidak nyambung dengan fakta. Karena Khonik dianggap mencurigakan, polisi pun dihubungi. Dengan bahasa Inggris yang cuma “yes” dan “no”, dalam interogasi itu omongan Khonik dianggap makin tidak keruan. Si bayi akhirnya diambil alih oleh pemerintah karena sebagai orangtua Khonik dinilai tidak becus mengurus anak. Beberapa minggu kemudian, perempuan yang “sudah jatuh tertimpa tangga” ini bahkan dijebloskan ke penjara kriminal kota Philadelphia dengan tuduhan melalaikan anak.

Mendengar cerita istri saya yang baru menyaksikan keadaan terakhir Khonik di penjara, hati saya tersayat-sayat. Apa yang kiranya akan dilakukan pemerintah kita untuk melindungi para warga seperti pelaku-pelaku cerita di atas. Juga terhadap pelaku cerita-cerita serupa lainnya, yang tidak cuma dua atau tiga? Baik ketika mereka berada di Tanah Air maupun ketika telah meninggalkannya demi perubahan nasib yang lebih baik. Makhluk seperti apakah “nasionalisme” bagi mereka?

KEKERASAN AGAMA & ETNIS
Lalu, terlepas dari kisah kasus per kasus, apa artinya bahwa kekerasan agama dan etnis telah menjadi alasan paling masuk akal bagi begitu banyak warga kita yang mengajukan asylum di negara seperti Amerika? Salah satu jawabannya jelas bahwa hubungan antar-agama dan etnis yang selama ini diyakini sebagai suatu perekat primer kehidupan bangsa kita sesungguhnya kini dalam keadaan amat mencekam.

Maka, pujian diri soal toleransi dan keramahan Islam sebagai mayoritas yang sering dilakukan sebagian kiai itu tidak akan bisa diterima siapa pun kecuali oleh kelompoknya sendiri jika perusakan gereja masih terus terjadi, penyesatan kelompok lain terus lantang dikumandangkan, dan sebagai pemeluk keyakinan atau anggota etnis tertentu masing-masing pribadi tidak bisa aman dan bebas menjalankan keyakinan atau menyandang identitas dirinya. Konflik seperti terjadi di Poso lebih merupakan tengara kerapuhan ketimbang perkecualian situasi relasi sosial kita yang sesungguhnya.

Benar kata Isaiah Berlin dalam karya klasiknya, Four Essays On Liberty. Kemerdekaan negatif, “kemerdekaan dari” (freedom from), yakni absennya campur tangan pihak lain bukanlah kebebasan sesungguhnya. Ia pun tidak terlalu sulit ditegakkan. Sebaliknya, demi kemerdekaan hakiki, kemerdekaan positif, “kemerdekaan untuk” (freedom for), suatu kelompok sering merasa berhak menaklukkan kelompok lain dengan merampas kemerdekaan mereka. Banyak orang pun merasa sumpek bahkan teraniaya di negeri sendiri, seperti terpantul dari kisah-kisah asylum di atas. Karena itu, kemerdekaan positif harus selalu dikawal ketat oleh tata hukum yang kuat jika kemerdekaan yang sesungguhnya buat semua orang hendak diwujudkan.
Yang juga tercermin pada kasus asylum itu adalah betapa jika punya pilihan, kehidupan di negeri sendiri kini agaknya demikian tidak menarik bagi sebagian warga kita. Sebabnya jelas: pemerintah kita tidak berdaya dalam mengelola kehidupan sosial dan menjamin hak-hak rakyatnya. Para peminta asylum seumpama layang-layang yang terputus talinya. “Tertolak” di negeri sendiri, entah nasibnya di negeri seberang. Ia bagian dari potret wajah kegagalan negeri kita.

Penulis:
Achmad Munjid
Kandidat Doktor Bidang Religious
Studies, Temple University, Philadelphia, Amerika Serikat
[Kolom, Gatra Nomor 26
Beredar Kamis, 10 Mei 2007]

Tiga Penumpang Sekeluarga Tewas

JAKARTA - Sebuah mobil Honda Jazz jatuh dari areal parkir di lantai tujuh pusat perbelanjaan ITC Permata Hijau, Jakarta, kemarin. Akibatnya, tiga penumpang mobil bertransmisi otomatis itu tewas di tempat kejadian. Diduga kuat, tragedi itu akibat kesalahan pengemudi dan kondisi tembok pembatas parkir yang rapuh.

Korban tewas adalah pasangan suami istri warga kompleks Taman Asri Cileduk, Tangerang, dan seorang anak mereka. Mereka adalah Topan Rusli, 45; Trisna Triyana, 43; dan Samuel, 12. Saat peristiwa itu, sang istri Trisna yang memegang kemudi.

Seorang saksi mata Tunggul Pangaribuan menceritakan, siang itu keluarga Topan Rusli baru pulang dari menghadiri kebaktian di Gereja Kemah Abraham yang berada di lantai 7 ITC Permata Hijau. Tunggul yang juga hadir dalam kebaktian itu mengatakan bertemu dengan keluarga Topan di areal parkir, sesaat sebelum kejadian. Dia juga sempat mengucapkan selamat jalan kepada mereka.

Tunggul mengatakan, areal parkir di gedung ITC Permata Hijau sangat sempit dan berkelok. Dia menduga, Honda Jazz nahas itu melaju tak terkendali saat akan berbelok sehingga menabrak tembok pembatas parkir. Tembok pun jebol dan mobil terjun bebas. “Setahu saya, Trisna baru belajar mengendarai mobil,” tambahnya.

KONSTRUKSI RAPUH
Keluarga Topan Rusli menyesalkan konstruksi bangunan di ITC Permata Hijau yang sangat rapuh. Dari pengamatan koran ini di TKP, tembok pembatas areal parkir hanya setinggi satu meter dan ketebalannya sekitar 20 cm. Di lokasi tembok yang jebol ditabrak Jazz milik Topan Rusli tak terlihat ada konstruksi beton (cor) pada tembok tersebut. Hanya batu bata yang ditata rapi.

“Tidak dicor, bagaimana mobil tidak jatuh. Andaikan konstruksi tembok itu ada besi betonnya, tentunya mobil akan tertahan dan tidak akan terjun bebas,” ujar Rini, kerabat korban.
Kompol Priyono juga menegaskan bahwa pihaknya akan mengusut lemahnya konstruksi bangunan.

General Advice ITC Permata Hijau Johny Lim menerangkan bahwa pihaknya tidak bisa memberikan penjelasan secara detail mengenai konstruksi bangunan. “Itu adalah wewenang developer,” ujar Lim.

Namun, Lim berjanji akan membicarakan lebih lanjut mengenai uang santunan ataupun biaya kerugian lain yang harus dijalankan sebagai kewajiban pihaknya. “Yah, saya akan berbicara lagi dengan keluarga korban mengenai kewajiban yang akan kami lakukan,” ucapnya.

Calon Tidak Bisa Pertanggungjawabkan Makalah

Seleksi Hakim Agung
JAKARTA - Salah satu calon hakim agung, Satri Rusyad, gagal mempertanggungjawabkan isi makalah yang dibuatnya. Ia bahkan tak mampu menerjemahkan kutipan atau catatan kaki yang diambil penulis dari buku An Introduction to American Law yangditulis Lawrence M Friedman.
“Tolong terjemahkan catatan kaki nomor 19 halaman yang ada di makalah saudara,” ujar Prof Chatamarrasjid, saat mewawancarai Satri Rusyad.

Setelah beberapa saat berusaha, Satri Rusyad akhirnya mengaku tidak fasih berbahasa Inggris.
Chatamarrasjid juga minta agar Satri menjelaskan isi buku Friedman mengenai hubungan antara unsur sistem hukum dengan sebuah mobil. Lagi-lagi Satri mengatakan tidak membaca buku secara keseluruhan.

Chatamarrasajid juga menanyakan apakah pernah baca buku Money Laundering karangan Yenti Ganarsih. Satri Rusyad mengaku membaca tetapi tidak semua. Ia kembali dicecar, buku itu hasil tesis atau skripsi. Satri mengatakan “Sepengetahuan saya itu ya buku”.

Chatamarrasjid kemudian menanyakan tentang sejarah istilah money laundering. Satri mengaku tidak mengetahui. Ia juga tidak membaca meski penjelasan mengenai hal tersebut sebenarnya ada di dalam buku Yenti Ganarsih.

Di dalam makalah tentang korupsi dan ilegal logging itu, Satri memuat dua buku tersebut di dalam daftar pustaka. Makalah tersebut juga memuat banyak sekali kutipan berbahasa Inggris baik kutipan langsung maupun di dalam catatan kaki. Setiap lembar terdapat dua atau tiga kutipan langsung bahasa Inggris.

Satri mengakui bahwa makalah tersebut dibuatnya sendiri dengan dibantu teman-teman di kantor dan juga anaknya. Ia dibantu terutama dalam pembuatan catatan kaki karena pada saat dia kuliah, model makalah seperti itu tidak ada.

Satri Rusyad juga dikonfirmasi mengenai proses promosi dan mutasi apakah melalui rapat pimpinan atau tidak. Satri mengatakan bahwa TPM dilakukan sesuai rapat. Hanya saja di dalam surat keputusan yang dikeluarkan terkadang yang bersangkutan ditempatkan di kota yang berbeda.

Sementara itu calon lain yang berasal dari akademisi Prof Dr Sudjito dari Universitas Gadjah Mada menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan yang bersifat hapalan. Saat ditanya tentang hukum korporasi, ia mengaku tidak tahu dan tidak bersedia menjawab pertanyaan yang bersifat legalistik.

Eropa mencegah pekerja gelap

Komisi Uni Eropa meluncurkan rencana untuk mendenda mereka yang memberikan pekerjaan kepada para imigran gelap.

Berdasarkan rencana itu orang ataupun perusahaan yang tertangkap basah mempergunakan tenaga imigran gelap akan dilarang mendapat kontrak publik maupun menjadi rekanan selama 5 tahun.

Perusahaan yang bersangkutan juga bisa ditutup untuk sementara waktu atau bahkan permanen.

Dan biaya repatriasi pekerja gelap bersangkutan akan ditanggung oleh majikannya, termasuk biaya jaminan sosial yang sempat dinikmati pekerja tersebut.

Uni Eropa memperkirakan terdapat 3 juta hingga 8 juta pendatang gelap di Uni Eropa, yang merupakan peningkatan sekitar 500.000 setiap tahunnya.

Dengan rancangan peraturan baru itu maka majikan harus memeriksa apakah pekerjanya memiliki ijin kerja atau tidak.

SANKSI LEMAH
Saat menjelaskan proposal itu, Komisaris Migrasi Uni Eropa, Franco Frattini, mengatakan mereka yang mau memperkerjakan para imigran gelap adalah salah satu sebab kuat masuknya pekerja gelap.

“Kemungkinan untuk mendapatkan lapangan kerja gelap merupakan salah satu pendorong dalam imigrasi gelap. Uni Eropa harus bertindak bersama,” kata Frattini.
Wartawan BBC untuk urusan Bisnis Eropa, Alex Ritson, melaporkan diketahui secara meluas kalau sejumlah pekerja gelap bekerja di perusahaan-perusahaan Eropa dengan gaji dibawah standar minimum.

Hal itu disebabkan sanksi atas majikan selama ini dianggap lemah, sehingga banyak yang mengambil resiko demi penghematan upah.

Namun usulan ini mendapat perlawanan dari sejumlah anggota Uni Eropa karena biasanya Uni Eropa tidak campur tangan dengan masalah hukum kriminal di negara anggota.
Selama ini perusahaan di Eropa hanya diperiksa dengan proporsi 1 dari 50 perusahaan setiap tahunnya, namun dengan usulan ini akan ditingkatkan menjadi 1 dari 10 perusahaan.

Seorang Mahasiswa RI di Australia Raih Paten Internasional

Canberra, 14 Mei 2007 08:40
Seorang mahasiswa Indonesia di Universitas Queensland, Arief Indrasumunar, mendapatkan paten internasional atas keberhasilan penelitiannya melakukan kloning tiga gen yang berperan dalam pembentukan root nodule pada tanaman kedelai.

“Saya sebagai inventor (penemu) saja, dan hasil penelitian saya itu dipatenkan UniQuest (perusahaan subsidiari Universitas Queensland --Red) secara internasional pada Desember 2006,” kata Arief, sebagaimana dikutip dari Antara, di Canberra, Australia, Minggu (13/5).
Arief, 43 tahun, juga adalah seorang peneliti Balai Besar Penelitian Bioteknologi Pertanian Bogor yang sedang merampungkan pendidikan doktoralnya di Sekolah Biologi Terpadu UQ dengan beasiswa Pemerintah Australia (ADS).

Ia menyatakan, root nodule adalah organ yang terbentuk pada akar kacang-kacangan sebagai hasil simbiosisnya dengan bakteri Rhizoblum.

“Di dalam root nodule inilah terjadi fiksasi nitrogen sehingga tanaman kacang-kacangan tidak lagi memerlukan tambahan pupuk nitrogen untuk pertumbuhannya,” kata peraih gelar S1-nya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta itu.

Penelitian ketiga gen ini, katanya, sudah dipatenkan UniQuest secara internasional di negara-negara penghasil utama kedelai di dunia, seperti Australia, Amerika Serikat, Kanada, Brasil, Cina, India, Indonesia, Italia, Spanyol, Rumania, Argentina, Rusia, Thailand, Vietnam, Jepang, dan Malaysia.

Sebelumnya, dalam penerbitan Perhimpunan Mahasiwa Indonesia di Australia (UQISA News), Arief mengatakan, pemanfaatan simbiosis antara tanaman dengan bakteri Rhizoblum merupakan pilihan yang tepat untuk meningkatkan produksi pertanian sekaligus menjaga kelestarian lingkungan.

“Prospek pemanfaatan paten ini juga sangat baik karena penggunaan penemuan ini dapat meningkatkan kemampuan pembentukan root nodule dan fiksasi nitrogen secara nyata baik di tanah yang subur maupun tandus,” kata kandidat doktor kelahiran Pacitan itu. [EL, Ant]
AS tetap gelar antirudal di Eropa
WASHINGTON -Amerika Serikat tidak akan membiarkan Rusia menghentikan penggelaran sistem penangkal rudal di Eropa, kata Menlu AS Condoleezza Rice.
“Saya rasa siapa pun tidak mengharapkan Amerika membiarkan veto terhadap kepentingan keamanan Amerika,” kata Rice usai bertemu Presiden Vladimir Putin di Moskow.
Rice mengelurkan pernyataan itu setelah dia dan Presiden Putin sepakat melunakkan retorika dalam perselisihan mereka.

Menteri luar negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan, kedua belah pihak memutuskan untuk berkonsentrasi pada isu-isu kongkrit.

Rice mengadakan pembicaraan dengan Putin, Sekretaris Dewan Keamanan Rusia Igor Ivanov, Menlu Sergei Lavrov, mantan Perdana Menteri Yevgeny Primakov, dan sejumlah pemuka lain Rusia.

“[Mr Putin] mendukung pengertian pihak Amerika bahwa retorika dalam pernyataan publik seyogyanya dihaluskan dan kami akan berkonsentrasi pada masalah-masalah kongkrit,” kata media lokal mengutip Lavrov usai pertemuan.

Pembicaraan tinggi di Moskow ini merupakan yang pertama sejak Putin menuduh Amerika sedang mengembangkan dominasi globalnya pada bulan Februari.
Kedua negara berselisih soal beberapa masalah, termasuk rencana Amerika menggelar perisai penangkap rudal di Eropa.

Rusia memandang proposal itu tidak perlu, atau bahkan ancaman bagi keamanannya, dan Amerika berupaya untuk membujuk Rusia, kata Wartawan BBC James Rodgers di Moskow.

Sekilas Internasional

Wolfowitz Langgar Aturan Bank Dunia
LOS ANGELES - Presiden Bank Dunia Paul Wolfowitz dinilai telah melanggar aturan lembaga keuangan itu dengan memberikan paket kompensasi kepada teman wanitanya. Menurut panel khusus Bank Dunia, Senin (14/5), tindakan Wolfowitz itu menimbulkan krisis kepemimpinan di lembaga itu. Wolfowitz menganggap laporan panel khusus itu tidak adil dan tanpa bukti-bukti yang kuat. Panel khusus itu meminta agar para pemimpin Bank Dunia mempertimbangkan kembali posisi Wolfowitz demi tercapainya misi lembaga itu dalam mengentaskan kemiskinan.
Berita terakhir menyebutkan bahwa Wolfowitz akan mengundurkan diri dari posisinya sebagai ketua Bank Dunia Juni mendatang. [AP/O-1]

Mahathir Masuk Rumah Sakit
Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad harus mendapatkan perawatan intensif di sebuah rumah sakit di Langkawi, Malaysia. Menurut putra tertua Mahathir, Mukhirz Mahathir (42 tahun), Senin (14/5), ayahnya masuk rumah sakit setelah menderita kesulitan bernafas. Direktur Rumah Sakit Kedah Hasnah Ismail juga memastikan kondisi kesehatan pria berusia 81 tahun itu. Menurut Mukhirz, dokter memberikan oksigen dan obat penenang agar ayahnya bisa berisitirahat. Kondisi Mahathir dikabarkan stabil. Pihak keluarga berharap seluruh rakyat Malaysia mendoakan Mahathir agar bisa cepat sembuh. Mukhriz tidak bisa memastikan berapa lama ayahnya akan dirawat di rumah sakit. [AP/O-1]

Sekjen PBB Tunjuk Utusan Timteng
Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (Sekjen PBB) Ban Ki-moon, Selasa (15/5), menunjuk Michael C Williams sebagai utusan khusus badan dunia itu di Timur Tengah (Timteng). Dia menggantikan Alvaro de Soto yang sudah memasuki usia pensiun. Sebelumnya, Williams menjabat Penasihat khusus Sekjen PBB untuk urusan Timteng.
Selama periode 1999 hingga 2005, Williams juga menjadi Penasihat khusus Menteri Luar Negeri Inggris Robin Cook dan Jack Straw. Dia juga pernah menjadi pejabat senior PBB pada misi penjaga perdamaian di Kamboja dan bekas Yugoslavia. Menurut Ban, Williams akan bertugas sebagai koordinator khusus dalam proses perdamaian di Timteng. [AP/O-1]