Friday, July 21, 2006

TSUNAMI DI PANTAI SELATAN JAWA DAN SELAT SUNDA

JATUH LEBIH DARI 550 KORBAN JIWA
JAKARTA - Pascagempa dan tsunami di Pantai Pangandaran, Ciamis, Jawa Barat, Senin (17/7) lalu, kemarin gempa susulan terjadi di enam kota. Gempa berkekuatan 6,2 skala richter yang berpusat di Selat Sunda itu mengguncang wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Pandeglang, dan Serang sekitar pukul 17.57 WIB.

Warga sangat panik dan banyak di antara mereka yang mengungsi karena khawatir gempa itu disusul gelombang pasang tsunami. Di Jakarta, masyarakat yang berada di dalam gedung-gedung perkantoran langsung berhamburan keluar. Di Pandeglang, warga juga sempat meninggalkan rumah.

Namun, kecemasan warga akan terjadinya tsunami seperti di Pangandaran tidak terbukti. Setelah getaran keras, tidak ada gempa susulan, apalagi datangnya gelombang pasang. Ini sesuai dengan analisis Badan Warning Tsunami Pasifik. Lembaga yang berpusat di Hawaii itu memastikan tidak ada tsunami lagi yang mengikuti gempa susulan tersebut.

Ahli geologi dari Badan Warning Tsunami Pasifik, Gerard Fryer, mengatakan bahwa gempa-gempa susulan yang terjadi tidak akan diikuti tsunami. “Analisis kami, tidak ada indikasi seperti itu,” katanya kepada AFP.

Sebelumnya, lembaga tersebut bersama Badan Meteorologi Jepang sempat memberikan warning kepada Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Kusmayanto Kadiman akan adanya tsunami di Pantai Pangandaran. Namun, peringatan itu diabaikan oleh Menristek.

Terkait pengabaian informasi tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Menristek mengklarifikasi ucapannya. Pernyataan presiden itu disampaikan Juru Bicara Kepresidenan Andi Alifian Mallarangeng.

Kata Andi, meski hanya sebatas mengetahui pernyataan tersebut dari pemberitaan di surat kabar, istana mengakui pernyataan Kusmayanto itu dapat ditafsirkan sebagai bentuk pengabaian pemerintah atas peringatan datangnya bencana yang menewaskan ratusan warga.

“Saya yakin dalam waktu dekat, Menristek akan mengklarifikasi keterangannya ke publik,” ujar Andi ketika dihubungi tadi malam.

Kusmayanto kemarin kembali mengakui telah mendapat peringatan akan datangnya tsunami beberapa saat setelah gempa 17 Juli di lepas Pantai Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat.

“Itu kan informasi awal sesaat setelah terjadi gempa. Untuk mengetahui apakah gempa akan menghasilkan tsunami atau tidak itu membutuhkan waktu,” terang Kusmayanto di Jakarta kemarin. bersambung ke halaman 4

Menristek menjelaskan, BMG membutuhkan waktu untuk menghitung potensi tsunami setelah terjadi gempa karena belum memiliki sistem deteksi dini tsunami yang bekerja secara otomatis. Setelah mengetahui koordinat episentrum gempa, kekuatan gempa (skala Richter), dan kekuatan rusak gempa (skala MMI), ahli-ahli gempa BMG masih harus menghitung kedalaman gempa dari permukaan dasar laut, jarak episentrum dengan pantai, dan volume air surut.

“Itu semua harus dihitung dan disimulasikan. Untuk mengetahui akan ada tsunami atau tidak, butuh waktu lebih dari 10 menit sejak terjadinya gempa,” terang Kusmayanto.

Kondisi itu berbeda dengan sistem deteksi gempa yang selama ini dapat diandalkan. Terbukti, sesaat setelah gempa di Pameungpeuk, sistem deteksi gempa di BMG secara otomatis langsung mengirimkan layanan pesan singkat (short message service) ke 400 poin. Di antaranya, ke telepon genggam Wapres Jusuf Kalla, Menhub Hatta Radjasa, dan Menristek.

Sistem juga secara otomatis mengirimkan SMS dan faks ke sejumlah instansi di pusat dan daerah serta sejumlah media massa. Kusmayanto juga menunjukkan isi SMS yang diterima dari sistem deteksi gempa BMG sesaat setelah terjadi gempa susulan di Pangandaran kemarin. Bunyinya: Info awal gempa 4,7 SR, 19 Juli 2006, jam 09.35 WIB, lokasi south of Java Indonesia.

Menurut Kusmayanto, dibutuhkan sedikitnya 1.200 titik alat deteksi gelombang pasang terapung (DART buoy) untuk melindungi 12 ribu kilometer wilayah pantai Indonesia yang terletak di sabuk gempa (ring of fire), membentang dari pantai barat Sumatera, pesisir selatan Jawa, selatan Nusa Tenggara, Laut Banda, hingga Selat Makassar. “Idealnya, setiap 10 kilometer dipasang satu alat,” katanya.

Pencarian Korban
Operasi penyelamatan yang dikoordinasi Badan SAR Nasional (Basarnas) kemarin berhasil menemukan 12 jenazah korban gelombang tsunami di Pangandaran. Di antara 12 jenazah tersebut, dua orang warga negara asing (WNA). Hingga tadi malam belum dikenal identitas keduanya.

Hingga kemarin, jumlah korban tewas akibat gempa dan tsunami di pantai Pangandaran mencapai 530 orang. Ratusan orang yang gagal diidentifikasi langsung dimakamkan secara masal di beberapa wilayah di Ciamis, Jawa Barat. Kepala Basarnas Laksda TNI Yayun Riyanto yang dihubungi koran ini tadi malam mengatakan, tim SAR Semarang yang menyisir sepanjang pantai Pangandaran Timur menemukan satu jenazah warga negara asing.

Lalu, tim SAR Basarnas yang menyisir sepanjang pantai Pengandaran Barat menemukan 10 jenazah. Dari jumlah korban tersebut, sembilan warga negara Indonesia (WNI) dan satu WNA. Sedangkan tim SAR Jakarta yang menyapu Pantai Parigi menemukana satu jenazah WNI.

Menurut orang nomor satu di jajaran Basarnas yang suka turun ke lapangan itu, anak buahnya sengaja menyapu lokasi yang tidak dijangkau oleh tim SAR lain, untuk mencari kemungkinan adanya korban yang hanyut dibawa ombak. “Hasil operasi tim SAR kami hari ini menemukan 12 korban. Semuanya sudah diserahkan ke Rumah Sakit Pangandaran untuk diidentifikasi,” kata Yayun.

Karena masih ditemukan banyak korban tewas, operasi SAR akan terus dilakukan. Mereka di bawah kendali komandan Kodim Ciamis yang memimpin operasi SAR di Satkorlak. “Selama komandan Kodim belum menyatakan operasi pencarian berakhir, tim SAR kami tetap mengadakan operasi di sana,” tambahnya.(ein/agm/noe/din/jpnn)

0 Comments:

Post a Comment

Links to this post:

Create a Link

<< Home