Wednesday, July 12, 2006

Kisah si Ano

SEBUT saja ada seorang pemuda bernama Ano. Kira-kira 15 tahun yang lalu berangkat ke New York setelah lulus computer akademi di Jakarta. Hidup begitu susahnya karena harus kerja di gas station, cafetaria sekolah, dan juga di toko donut. Tempat tinggal pun mencari yang paling murah, share dengan 2 orang lain satu kamar. Beberapa tahun kemudian, setelah mengumpulkan sedikit uang dan mampu untuk menyewa apartment sendiri, dia menikah dengan teman gadisnya yang datang dari Jakarta. Singkatnya, dua-duanya bekerja penuh (masih kerja kasar) dan lahir anak pertama yang sudah tentu adalah American Citizen.

Dua-duanya kemudian apply political assylum visa secara terpisah. Ano dapat working permit sementara kasusnya diproses immigrasi. Istrinya ditolak dan harus meninggalkan US. Tapi karena berpikir bahwa satu waktu Ano akan dapat permanent resident status, mereka tidak meninggalkan America. Beberapa tahun kemudian, lahir anak kedua. Pada saat yang sama, setiap tahun, working permit harus diperpanjang. Bayangkan berapa banyak uang keluar untuk pengacara imigrasi.

Setelah Sept 11, ada peraturan imigrasi bahwa semua immigran laki-laki harus di ambil sidik jarinya termasuk yang baru datang di Airport. Imigrasi jauh lebih ketat. Rupanya, Ano memang sudah ditolak permohonan assylum-nya dan kalo memang di periksa, ada kemungkinan akan dideportasi pada saat itu juga. Padahal pada saat itu, Ano punya pekerjaan yang lebih baik di pabrik obat.

Keputusannya yaitu pulang ke Indonesia, bawa anak nomor 2 yang pada waktu itu baru berumur 1 tahun. Pikirnya, kalo memang keluarganya harus pisah, setidaknya satu anak bersama ayahnya, dan istrinya akan terus berusaha untuk re-apply political assylum visa. Bulan January tahun ini, ada panggilan dari imigrasi, kasus istrinya akan disidang. Pengacaranya minta supaya anak yang di Indonesia dibawa kembali ke US supaya kasusnya akan lebih kuat karena ada 2 anak yang US citizen. Soal hasilnya berhasil atau tidak, pada saat sidang, hakimnya sudah tau bahwa anak kedua baru dibawa kembali ke US 2 minggu sebelum sidang yang mempertanyakan apakah benar nyawa anda terancam di Indonesia. Anaknya kan US citizen, jika keadaan begitu gawatnya di Indonesia, kenapa anaknya dibawa ke Indonesia selama 2 tahun lebih? Anaknya kan lahir di US?

Minggu yang lalu, Ano meninggal di Jakarta pada umur 41 tahun serangan jantung. Menurut keluarganya, karena stress yang berkepanjangan. Kerja susah dan pisah dari keluarga. Istri dan anak-anaknya sudah tentu tidak bisa kembali ke Indonesia. Pertama, karena istrinya masih status illegal di US dan tidak akan bisa kembali ke US, kedua, hidup tentu akan lebih susah di Indonesia.

Mengenai American Dream yang mereka cari, apakah mimpi itu hanya akan tetap menjadi mimpi ataukah orang memang harus lebih realistis terhadap kenyataan hidup? Dimana ada saatnya kita harus membuat keputusan bahwa apa yang kita cari akan terwujud atau tidak? Mereka menunggu lebih dari 15 tahun tidak bertemu dengan keluarga di Indonesia, dan sekarang anak-anaknya tidak mempunyai waktu yang lebih banyak dengan ayahnya. Untuk menutupi biaya hidup, istrinya harus kerja di lima tempat paling sedikit 14 jam sehari.

Apakah American Dream itu setimpal harganya dengan hidup terpisah dari istri dan anak-anak yang masih kecil? Yang sampai pada hari ini mimpi itu masih tetap sebuah mimpi.

1 Comments:

Anonymous Anonymous said...

hiks....hiks sedih bgt sih critanya! Is it true story?

9:58 PM  

Post a Comment

Links to this post:

Create a Link

<< Home