Sunday, September 03, 2006

Bila Ekonomi AS ‘Bersin’....

HASIL survei dari 129 ekonom AS terkemuka tentang kemungkinan terjadinya resesi ekonomi di AS, bila harga minyak melonjak sampai $100/barel, perlu kiranya dicermati, mengingat dampaknya resesi adidaya itu bisa merebak ke seluruh sistem ekonomi dunia.

Terlepas dari peringatan ngeri tersebut, indikator utama ekonomi makro AS saat ini sungguh menujukkan gejala negatif. Data penjualan perumahan anjlok hingga 4,3% dalam Juli, stok rumah baru yang tak laku mencapai 568.000 unit, suatu tingkat rekor. Jadi ‘gelembung”pasar properti terancam meletus. Tingkat pengangguran naik menjadi 4,8% dalam Juli dari 4,5% bulan sebelumnya dan order pabrik tumbang. Revisi pertumbuhan PDB,kepercayaan konsumen dan penghasilan perorangan yang akan dirilis dalam pekan ini, diperkirakan akan melemah.
Fundamental ekonomi AS yang tak sehat dewasa ini rawan terhadap goncangan pasar dan risiko geopolitis, seperti membubungnya harga minyak, melajunya inflasi dan ancaman teror. Maka kemungkinan muncul kembali resesi ekonomi AS bukan mustahil.

Analis dari Goldman Sachs sejak tahun lalu sudah meramalkan, harga minyak bisa mencapai setinggi $106/barel. Konfrontasi Iran dengan Barat lalu melibatkan turun-tangan PBB dengan ancaman sanksi atas isu pengayaan uranium Iran, dikhawatirkan akan menaikkan suhu politik di Timur Tengah. Akibatnya berimbas besar atas suplai minyak dari kawasan penghasil minyak utama dunia itu, dan mendorong membubungnya harga minyak. Ancaman topan tropis baru, “Ernesto” terhadap fasilitas minyak AS sepanjang Teluk Meksiko dan breakdown atau disrupsi produksi minyak di negara-negara produsen utama, seperti di Nigeria, Alaska, Irak dan non-OPEC, ditambah kegiatan pembelian spekulatif, bakal mendongrak harga minyak hingga puncak.

Tingginya harga minyak selain memicu inflasi, tapi juga menekan daya beli konsumen. Tidak mengherankan, kalau bank sentral AS (Fed) menyimpang dari tren kenaikan suku bunga rutin dalam rapat lalu dengan menahan diri untuk tidak melakukannya, karena Fed lebih khawatir akan terkekangnya pertumbuhan ekonomi AS yang sudah melamban oleh suku bunga lebih tinggi, ketimbang ekspektasi inflasi.

Dana Moneter Internasional dalam laporan terakhir juga mengkonfirmasikan bahwa pertumbuhan ekonomi AS sungguh mulai “slowdown”.
Peringatan para ekonom terkemuka tentang kondisi ekonomi AS, sebaiknya menjadi “wake-up call” bagi negara-negara yang mempunyai hubungan perdagangan dan ekonomi dengan AS, terutama negara-negara berkembang yang berorientasi ekspor utama ke AS dan negara-negara miskin yang mengharapkan bantuan dan pinjaman finansial AS khususnya dan Barat umumnya.

Bagaimanapun bila ekonomi AS sampai “bersin”, maka orang-orang sekitarnya yang berdaya tahan tubuh kuat pun, sedikit-banyaknya akan kena virusnya, bila syukur terhindar dari flu berat.

Kalau harga minyak sampai $100/barel mengancam kesehatan ekonomi adidaya AS, masakan tidak menjadi masalah bagi negara-negara ekonomi lemah.

Dampak negatif langsung dari resesi ekonomi AS atas ekonomi negara-negara mitranya akan segera terasa di sektor ekspor, investasi, pengangguran dan pertumbuhan overall.

Lalu imbas dari tingginya harga minyak dunia sampai $100/barel akan terjelma dalam melajunya inflasi, membengkaknya subsidi minyak, defisit anggaran, prospek kenaikan lagi harga BBM atau permintaan pinjaman tambahan dari luarnegeri dan lembaga-lembaga keuangan internasional.

Jadi porkas over-optimis akan meleset. “Sebelum hujan, sedia payung”. Maka perlunya setiap pemerintah meningkatkan kewaspadaan dan menyediakan perangkat penangkal darurat, yakni “contingency plan” untuk menghadapi ancaman resesi, agar tak menjadi panik kelak seperti di masa krismon 1997/98. Janganlah hanya melihat sesuatu hal dari sisi positif.

0 Comments:

Post a Comment

Links to this post:

Create a Link

<< Home